Ticker

6/recent/ticker-posts

Header Ads Widget

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENCIUM MUSHAF AL-QUR'AN

PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG HUKUM MENCIUM MUSHAF AL-QURAN

(حُكْمُ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ)

Di Tulis oleh Abu Haitsam Fakhry

KAJIAN NIDA AL-ISLAM

====

Syeikh Prof. DR. Abdul Malik bin Abdurrahman as-Sa’di berkata ;

أَرَى أَنَّ هَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْفَرْعِيَّةِ لَا تَسْتَوْجِبُ النِّزَاعَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَتُسْتَغَلُّ مِنْ قِبَلِ أَعْدَاءِ الْإِسْلَامِ لِشَقِّ عُصَى الْمُسْلِمِينَ!

“Saya melihat bahwa masalah ini adalah masuk dalam katagori masalah cabang agama [yang bersifat periferal] yang tidak perlu menyebabkan pertikaian dan permusuhan di antara umat dan dieksploitasi oleh musuh-musuh Islam untuk memecah belah umat Muslim!”.

*****

بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَـٰنِ الرَّحِيمِ

الْحَمْدُ لِلَّهِ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ وَمَنْ وَالَاهُ، أَمَّا بَعْدُ:

MAKNA تَقْبِيْل”:

1. Mengecup sambil mencium. 2. Mengecup saja. 3. Mencium saja

*****

PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA FIQH TENTANG HUKUM MENCIUM MUSHAF

Para ulama ahli fikih berselisih pendapat tentang hukum mencium mushaf Al-Qur'an menjadi lima pendapat:

====

PENDAPAT PERTAMA: BAHWA ITU DIANJURKAN [MUSTAHAB]:

Ini adalah pendapat yang dianut oleh para ahli fikih Mazhab Syafi'i, termasuk Imam Nawawi, Ibnu Hajar al-Haitami, Az-Zarkasyi, dan pendapat tentang keutamaannya juga diriwayatkan dari Imam Ahmad.

Imam Az-Zarkasyi berkata:

وَعَنْ أَحْمَدَ ثَلَاثَ رِوَايَاتٍ: الجَوَازِ، وَالِاِسْتِحَابِ، وَالتَّوَقُّفِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ رَفْعَةٌ وَإِكْرَامٌ، لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُهُ قِيَاسٌ".

Dan dari pendapat Imam Ahmad, ada tiga riwayat: BOLEH, SUNNAH, dan TAWAQQUF (diam), meskipun ada tujuan pengagungan dan memuliakan di dalamnya, karena dalil qiyas tidak bisa masuk ke dalamnya (Yakni: Qiyas tdk bisa masuk dalam perkara Ibadah). (Selesai Kutipan dari az-Zarkasyi).

Dan Imam Al-Zarkashi asy-Syaafii mengatakan pula dalam al-Burhaan 1/478:

مَسْأَلَةٌ [فِي أَحْكَامٍ تَتَعَلَّقُ بِاحْتِرَامِ الْمُصْحَفِ وَتَبْجِيلِهِ]

وَيُسْتَحَبُّ تَطَيُّبُ الْمُصْحَفِ وَجَعْلُهُ عَلَى كُرْسِيٍّ، وَيَجُوزُ تَحْلِيتُهُ بِالْفِضَّةِ إِكْرَامًا لَهُ عَلَى الصَّحِيحِ.

رَوَى الْبَيْهَقِيُّ بِسَنَدِهِ إِلَى الْوَلِيدِ بْنِ مُسْلِمٍ قَالَ: سَأَلْتُ مَالِكًا عَنْ تَفْضِيضِ الْمُصَاحَفِ، فَأَخْرَجَ إِلَيْنَا مُصْحَفًا فَقَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّهُمْ جَمَعُوا الْقُرْآنَ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَنَّهُمْ فَضَّضُوا الْمُصَاحَفَ عَلَى هَذَا وَنَحْوِهِ.

وَأَمَّا بِالذَّهَبِ فَالْأَصْحَ يُبَاحُ لِلْمَرْأَةِ دُونَ الرَّجُلِ، وَخَصَّ بَعْضُهُمْ الْجَوَازَ بِنَفْسِ الْمُصْحَفِ دُونَ عَلَاقَتِهِ الْمُنْفَصِلَةِ عَنْهُ؛ وَالْأَظْهَرُ التَّسْوِيَةُ.

وَيُحَرَّمُ تَوّسُّدُ الْمُصْحَفِ وَغَيْرِهِ مِنْ كُتُبِ الْعِلْمِ؛ لِأَنَّ فِيهِ إِذْلَالًا وَامْتِهَانًا،

وَكَذَلِكَ مُدُّ الرِّجْلَيْنِ إِلَى شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ أَوْ كُتُبِ الْعِلْمِ.

وَيُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ ؛ لِأَنَّ عُكْرَمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ كَانَ يُقَبِّلُهُ، وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ ، وَلِأَنَّهُ هَدِيَّةٌ لِعِبَادِهِ، فَشُرِّعَ تَقْبِيلُهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ ".

Artinya: (MASALAH): tentang hukum yang berkaitan dengan menghormati dan mengangungkan Al-Qur'an.

Dianjurkan (MUSTAHAB) untuk mengolesi Al-Qur'an dengan minyak wangi dan meletakkannya di atas kursi (khusus utk al-Quran), dan diperbolehkan menghiasnya dengan perak untuk memuliyakannya, menurut pendapat yang Shahih.

Al-Baihaqi meriwayatkan dengan sanadnya kepada Al-Walid bin Muslim, dia berkata:

سَأَلْتُ مَالِكًا عَنْ تَفْضِيضِ الْمُصَاحَفِ، فَأَخْرَجَ إِلَيْنَا مُصْحَفًا فَقَالَ: حَدَّثَنِي أَبِي عَنْ جَدِّي أَنَّهُمْ جَمَعُوا الْقُرْآنَ فِي عَهْدِ عُثْمَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، وَأَنَّهُمْ فَضَّضُوا الْمُصَاحَفَ عَلَى هَذَا وَنَحْوِهِ.

Saya bertanya kepada Imam Malik tentang menghiasi Mushaf dengan perak, maka dia mengeluarkan sebuah Mushaf Al-Qur'an kepada kami dan berkata: Ayah saya bercerita kepada saya dari kakek saya bahwa mereka (para sahabat) mengumpulkan Al-Qur'an pada zaman Utsman RA, dan mereka menghiasi mushaf-mushaf dengan perak seperti yang ini dan yang sejenisnya. (lihat as-Sunan al-Kubro 4/242 No. 7578)

Adapun menghiasnya dengan emas, maka pendapat yang lebih shahih bahwa itu dibolehkan untuk wanita, tidak untuk pria.

Dan sebagian dari mereka ada yang mengkhususkan boleh menghias Al-Qur'an dengan emas untuk pria jika emas tsb menyatu dengan nya, tidak terpisahkan darinya. Tapi yang nampak shahih adalah sama saja tidak ada bedanya.

Dan diharamkan ber bantal kan Al-Mushaf dan lainnya dari kitab-kitab ilmu, karena mengandung unsur pelecehan dan penghinaan, dan begitu juga diharamkan menjulurkan kedua kakinya kepada sesuatu dari Al-Qur’an, atau kitab-kitab ilmu.

Dan dianjurkan (MUSTAHAB) untuk mencium Al-Mushaf, karena Ikrimah bin Abi Jahal RA biasa menciumnya, dengan analogi kepada mencium Hajar Aswad, dan karena al-Mushaf itu adalah hadiah (dari Allah) untuk hamba-hambanya, maka disyariatkan untuk menciumnya sebagaimana mustahab / dianjurkan untuk mencium seorang anak kecil. (Selesai Kutipan dari az-Zarkasyi).

Baca juga: kitab al-Itqoon Fii Ulumil Qur'an 2/458 No. 6246.

Dengan demikian, mencium Al-Qur’an setelah membacanya, atau karena hal lain, hukumnya adalah sunah. Di dalam Islam, kita disunahkan untuk senantiasa mencintai dan mengagungkan syiar-syiar Islam, seperti Al-Qur’an dan Hajar Aswad. Dan salah satu bentuk mencintai dan mengagungkan syiar-syiar tersebut adalah dengan menciumnya.

DALILNYA : Mereka mengemukakan dalil-dalil berikut ini:

Dalil pertama :

Diriwayatkan dari Umar - radhiyallahu ‘anhu - :

أَنَّهُ: كَانَ ‌يَأْخُذُ ‌الْمُصْحَفَ ‌كُل ‌غَدَاةٍ ‌وَيُقَبِّلُهُ، ‌وَيَقُول: ‌عَهْدُ ‌رَبِّي ‌وَمَنْشُورُ ‌رَبِّي عَزَّ وَجَل

“Bahwa dia biasa mengambil mushaf setiap pagi dan menciumnya, seraya berkata: "Ini adalah perjanjian Tuhanku dan perintah Tuhanku yang Maha Agung."

(Lihat : Syarah Sunan Ibnu Majah oleh As-Suyuthi hal. 263, Majma’ al-Anhaar oleh Daamaad Afandi 2/554, Ibnu 'Abidin 5/246, dan Hasyiyah At-Thohthowi 'ala Ad-Durr 4/192, serta Kasyaaf al-Qina' 1/137, dan Al-Adab ash-Syar'iyyah 2/295.)

Dalil kedua :

Diriwayatkan dari Utsman bin ‘Affaan :

كَانَ عُثْمَانُ - رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ - يُقَبِّلُ الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ

Utsman - radhiyallahu ‘anhu - biasa mencium mushaf dan mengusapkannya ke wajahnya.

(Lihat : Syarah Sunan Ibnu Majah oleh As-Suyuthi hal. 263, Majma’ al-Anhaar oleh Daamaad Afandi 2/554, Ibnu 'Abidin 5/246, dan Hasyiyah At-Thohthowi 'ala Ad-Durr 4/192, serta Kasyaaf al-Qina' 1/137, dan Al-Adab ash-Syar'iyyah 2/295.)

Dalil ke tiga :

Imam Al-Nawawi asy-Syaafi’ii berkata dalam “التِّبْيَانِ”:

رَوَيْنَا فِي مُسْنَدِ الدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ، وَيَقُولُ: كِتَابُ رَبِّي، كِتَابُ رَبِّي

Kami telah diriwayatkan dalam Musnad al-Darimi dengan Sanad yang Shahih dari Abu Maalikah: Ikrimah bin Abi Jahal biasa meletakkan Al-Qur'an di wajahnya dan berkata: Kitab Rabbku adalah kitab Rabbku.

(Di kutip oleh Manshur al-Bahuuty dalam kitab Kasyyaf al-Qinaa' 1/137. Lihat pula : Ibnu 'Abidin 5/246, dan Hasyiyah At-Thohthowi 'ala Ad-Durr 4/192 dan Al-Adab ash-Syar'iyyah 2/295.)

Al-Qawaariiri berkata:

كَتَبَ عِنْدَيَّ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ هَذَا الْحَدِيثُ فِي السِّجْنِ، وَبِهَذَا احْتَجَّ الْإِمَامُ أَحْمَدُ بِجَوَازِ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ.

“Ahmad bin Hanbal menulis hadits ini kepadaku di penjara, dan dengan ini Imam Ahmad berargumentasi bahwa taqbiil [mencium dan mengecup] Al-Mushaf itu diperbolehkan “.

Al-Haitsami dlm al-Majm' berkata tentang sanad atsar ini: 

" مُرْسَلُ رِجَالِهِ رِجَالُ الصَّحِيحِ"

" Mursal, para perawinya adalah para perawi hadits shahih “.

Melalui riwayat ini, maka Imam al-Suyuthi mengatakan bahwa mencium Al-Qur’an adalah sunah. Dalam kitab al-Itqoon Fii 'Uluumil Qur'an 2/458 No. 6246 beliau berkata sebagai berikut:

يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ لِأَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يَفْعُلُهُ وَبِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الاَسْوَدِ ذَكَرَهُ بَعْضُهُمْ وَلِأَنَّهُ هَدْيُهُ مِنَ اللهِ تَعَالَى فَشِرعَ تَقْبِيلُهُ كَمَا يُسْتَحَبُّ تَقْبِيلُ الْوَلَدِ الصَّغِيرِ

“Disunahkan mencium mushaf karena Ikrimah bin Abu Jahl melakukaknnya, dan (dalil lain) adalah dengan dikiaskan dengan mencium Hajar Aswad sebagaimana disebutkan oleh sebagian para ulama, dan karena mushaf Al-Qur’an merupakan anugerah dari Allah swt. Karenanya disyariatkan menciumnya seperti disunahkannya mencium anak kecil.”

Ibnu Katsir mengatakan Dalam kitab al-Bidayah wan Nihayah 7/34:

"عِكْرَمَةُ بْنُ أَبِي جَهْلٍ... كَانَ مِنْ سَادَاتِ الْجَاهِلِيَّةِ كَأَبِيهِ ثُمَّ أَسْلَمَ عَامَ الْفَتْحِ بَعْدَمَا فَرَّ ثُمَّ رَجَعَ إِلَى الْحَقِّ. وَاسْتَعَمَلَهُ الصِّدِّيقُ عَلَى عُمَّانَ حِينَ ارْتَدُّوا فَظَفَرَ بِهِمْ كَمَا تَقَدَّمَ. ثُمَّ قَدَّمَ الشَّامَ وَكَانَ أَمِيرًا عَلَى بَعْضِ الْكَرَادِيِسِ، وَيُقَالُ: إِنَّهُ لَا يُعْرَفُ لَهُ ذَنْبٌ بَعْدَمَا أَسْلَمَ. وَكَانَ يُقَبِّلُ الْمُصْحَفَ وَيَبْكِي وَيَقُولُ: كَلَامُ رَبِّي كَلَامُ رَبِّي. احتجَّ بِهَذَا الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَلَى جَوَازِ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ وَمَشْرُوعِيَّتِهِ."

“ Ikrimah bin Abi Jahl..... Dia adalah salah satu dari para bangsawan zaman Jahiliyah, seperti ayahnya, kemudian memeluk Islam di tahun penaklukan kota Makkah setelah dia melarikan diri dan kemudian kembali kepada yang haq.

Dan Abu Bakar Al-Siddiq menggunakan Ikrimah untuk membawa pasukan ke Amman ketika mereka murtad, lalu dia memenangkan atas mereka - seperti yang sebutkan pada sebelumnya -, kemudian dia datang ke Syam dan diangkat menjadi Amiir atas sebagian karaadiis.

Ada yang mengatakan : bahwa dia tidak diketahui bahwa dia pernah berbuat dosa setelah dia memeluk Islam. Dan dia biasa mencium Al-Qur'an dan menangis dan mengatakan: Firman Rabbku, Firman Rabbku.

Dengan ini Imam Ahmad berhujjah akan bolehnya dan disyariatkannya mencium Al-Mushaf”. (Selesai Kutipan dari Ibnu Katsir)

Dalil keempat :

Dengan menggunakan analogi dengan Hajar Aswad, karena menciumnya adalah sunnah sebagai penghormatan kepadanya, maka Al-Qur'an lebih berhak mendapat perlakuan yang sama.

Ibnu Hajar Haitami asy-Syafi’ii berkata dalam Tuhfatul Muhtaaj 1/155:

"وَاسْتَدَلَّ السُّبْكِيُّ عَلَى جَوَازِ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ بِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَيَدِ الْعَالِمِ وَالصَّالِحِ وَالْوَالِدِ؛ إذْ مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُمْ"

"As-Subki berdalil diperbolehkannya mencium Al-Quran dengan analogi kepada mencium Hajar Aswad, mencium tangan ahli ilmu, orang shaleh dan orang tua ; karena telah menjadi maklum bahwa al-Qur’an itu jauh lebih baik dari mereka."

=====

PENDAPAT KEDUA: BOLEH MENCIUM MUSHAF NAMUN TIDAK SUNNAH

Yakni diperbolehkan mencium mushaf akan tapi tidak disunnahkan.

Ini adalah pendapat Mazhab Hanafi dan pendapat yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, serta pendapat yang tawaqquf [diam].

Dan ini adalah pendapat yang masyhur di kalangan madzhab Hanbali.

Pendapat ini juga dijadikan pegangan oleh As-Subki [dari Mazhab Syafi'i], Ibnu Taimiyah, Asy-Syaukani dan Syeikh bin Baaz, Syekh Sholeh al-Munajjid, Syeikh Ali Jum’ah dan Syeikh Nur Ali Salman .

[Baca : “Hukmu Taqbiil al-Mushaf” oleh Syeikh Prof. DR. Abdul Malik bin Abdurrahman as-Sa’di. Pertanyaan nomor 1549 - Dari Abdullah - Al-Anbar. Tanggal publikasi 9 Mei 2011].

Manshur al-Bahuuty dalam kitab Kasyaaf al-Qinaa' 1/137 berkata:

(وَيُبَاحُ تَقْبِيلُهُ) قَالَ النَّوَوِيُّ فِي التِّبْيَانِ: رَوَيْنَا فِي مُسْنَدِ الدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ عَنْ ابْنِ أَبِي مُلَيْكَةَ أَنَّ عِكْرِمَةَ بْنَ أَبِي جَهْلٍ كَانَ يَضَعُ الْمُصْحَفَ عَلَى وَجْهِهِ، وَيَقُولُ كِتَابُ رَبِّي كِتَابُ رَبِّي.

ARTINYA: “Dan dibolehkan mencium nya. Al-Nawawi berkata dalam “التِّبْيَانِ”:

Kami telah diriwayatkan dalam Musnad al-Darimi dengan Sanad yang Shahih dari Abu Maalikah: Ikrimah bin Abi Jahal biasa meletakkan Al-Qur'an di wajahnya dan berkata: Kitab Rabbku adalah kitab Rabbku. (Selesai perkataan al-Bahuuty al-Hanbaly)

Lihat pula penukilan dari an-Nawawi dalam kitab berikut ini : Ibnu 'Abidin 5/246, dan Hasyiyah At-Thohthowi 'ala Ad-Durr 4/192, serta Kasyaaf al-Qina' 1/137, dan Al-Adab ash-Syar'iyyah 2/295.

Imam Az-Zarkasyi berkata:

وَعَنْ أَحْمَدَ ثَلَاثَ رِوَايَاتٍ: الجَوَازِ، وَالِاِسْتِحَابِ، وَالتَّوَقُّفِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ رَفْعَةٌ وَإِكْرَامٌ، لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُهُ قِيَاسٌ".

Dan dari pendapat Imam Ahmad, ada tiga riwayat: BOLEH, SUNNAH, dan TAWAQQUF (diam), meskipun ada tujuan pengagungan dan memuliakan di dalamnya, karena dalil qiyas tidak bisa masuk ke dalamnya (Yakni: Qiyas tdk bisa masuk dalam perkara Ibadah). (Selesai Kutipan dari az-Zarkasyi).

Mereka menggunakan dalil-dalil pendapat pertama : yaitu sebagaimana yang dilakukan oleh Umar, Utsman, dan Ikrimah radhiyallahu ‘anhum. Namun mereka memahami nya sbb :

لِأَنَّ ذَلِكَ لَيْسَ مِنْ بَابِ التَّعْبُدِ، بَلْ مِنْ بَابِ الْمُحَبَّةِ وَالتَّعْظِيمِ؛ وَلِأَنَّهُ لَمْ يُرَدْ بِهِ أَمْرٌ فَهُوَ مُبَاحٌ.

“Karena tindakan itu bukan bagian dari ibadah, tetapi dari ungkapan rasa cinta dan penghormatan; serta karena tidak ada dalil yang mengharamkannya, maka tindakan tersebut adalah diperbolehkan”.

Al-Hashkafii Al-Hanafi berkata dalam kitab “Al-Durr Al-Mukhtaar” (6/384):

"وَفِي الْقُنْيَةِ فِي بَابِ مَا يَتَعَلَّقُ بِالْمَقَابِرِ: تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ، قِيلَ: بِدْعَةٌ؛ لَكِنْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- أَنَّهُ كَانَ يَأْخُذُ الْمُصْحَفَ كُلَّ غَدَاةٍ وَيُقَبِّلُهُ وَيَقُولُ: عَهْدُ رَبِّي وَمَنْشُورُ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ، وَكَانَ عُثْمَانُ -رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ- يُقَبِّلُ الْمُصْحَفَ وَيَمْسَحُهُ عَلَى وَجْهِهِ"

Dan dalam kitab “الْقُنْيَةِ” pada BAB “Sesuatu yang berkaitan dengan kuburan ”: Mencium mushaf, dikatakan: bid'ah ; Tapi diriwayatkan dari Umar RA bahwa beliau senantiasa mengambil mushaf setiap pagi dan menciumnya, lalu dia berkata: “ Perjanjian dengan Rabbku dan lembaran firman Rabbku Azza wa Jalla “. Dan juga Utsman RA senantiasa menciumnya dan mengusapkannya ke wajahnya “.

Ibnu Hajar Haitami asy-Syafi’ii berkata dalam Tuhfatul Muhtaaj 1/155:

"وَاسْتَدَلَّ السُّبْكِيُّ عَلَى جَوَازِ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ بِالْقِيَاسِ عَلَى تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ وَيَدِ الْعَالِمِ وَالصَّالِحِ وَالْوَالِدِ؛ إذْ مِنْ الْمَعْلُومِ أَنَّهُ أَفْضَلُ مِنْهُمْ"

"As-Subki berdalil diperbolehkannya mencium Al-Quran dengan analogi kepada mencium Hajar Aswad, mencium tangan ahli ilmu, orang shaleh dan orang tua ; karena telah menjadi maklum bahwa al-Qur’an itu jauh lebih baik dari mereka."

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa 23/65 mengatakan:

"الْقِيَامُ لِلْمُصْحَفِ وَتَقْبِيلُهُ لَا نَعْلَمُ فِيهِ شَيْئًا مَأْثُورًا عَنِ السَّلَفِ، وَقَدْ سُئِلَ الْإِمَامُ أَحْمَدَ عَنْ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ فَقَالَ: مَا سَمِعْتُ فِيهِ شَيْئًا، وَلَكِنْ رُوِيَ عَنْ عُكْرَمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ أَنَّهُ كَانَ يَفْتَحُ الْمُصْحَفَ وَيَضَعُ وَجْهَهُ عَلَيْهِ ، وَيَقُولُ: كَلَامُ رَبِّي ، كَلَامُ رَبِّي".

“Berdiri untuk menghormati mushaf atau mencium mushaf, tidak kami ketahui adanya riwayat shahih dari para salaf. Imam Ahmad pernah ditanya mengenai hal ini ia mengatakan: aku tidak pernah mendengar tentang itu sama sekali, namun diriwayatkan oleh Ikrimah bin Abi Jahal bahwa Dia biasa membuka Al-Qur'an dan meletakkan wajahnya padanya, dan berkata: Firman Rabbku, Firman Rabbku “. (Selesai)

-----

FATWA SYEIKH BIN BAAZ رحمه الله:

Fatwa Sheikh Abdul Aziz bin Baz - semoga Allah merahmatinya - dari fatwa majalah Al-Da’wah, edisi: 1643

PERTANYAAN:

Bolehkah Mencium Al-Qur'an?

JAWABAN:

لا حَرَجَ فِي ذَلِكَ، لَكِنَّ تَرْكَهُ أَفْضَلُ لِعَدَمِ الدَّلِيلِ، وَإِنْ قَبَّلَهُ فَلَا بَأْسَ، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُكْرَمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ ـ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ ـ أَنَّهُ كَانَ يُقَبِّلُهُ وَيَقُولُ: هَذَا كَلَامُ رَبِّي، لَكِنْ هَذَا لَا يَحْفَظُ عَنْ غَيْرِهِ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلَا عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَفِي رِوَايَتِهِ نَظَرٌ، لَكِنَّ لَوْ قَبَّلَهُ مِنْ بَابِ التَّعْظِيمِ وَالْمُحَبَّةِ فَلَا بَأْسَ وَلَكِنْ تَرْكُ ذَلِكَ أَوْلَى. أَهـ.

“ Tidak ada yang salah dengan itu, tetapi lebih baik meninggalkannya karena tidak ada dalilnya, dan jika dia menciumnya, maka tidak lah mengapa.

Ada riwayat dari sahabat Ikrimah bin Abi Jahal - semoga Allah meridhoinya - bahwa dia biasa menciumnya dan berkata: “Ini adalah Firman Tuhanku “.

Tapi ini tidak ada keterangan dari sahabat lainnya atau dari Nabi 
, dan lagi pula dalam keshahihan riwayatnya perlu di tinjau kembali.

Namun demikian jika dia menciumnya karena rasa ta’dziim dan cinta, maka tidak ada yang salah dengan itu, tetapi meninggalkan itu lebih utama “.

------

FATWA SYEIKH SHOLEH AL-MUNAJJID:

Ada pertanyaan yang ditujukan kepada Syaikh Sholeh Al Munajjid di website beliau:

“Apa hukum mencium mushaf yang jatuh dari tempat yang tinggi.”

Jawab beliau sambil mengutarakan fatwa Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdillah bin Baz yang menjadi guru beliau,

لا نَعْلَمُ دَلِيلاً عَلَى مَشْرُوعِيَّةِ تَقْبِيلِهِ، وَلَكِنْ لَوْ قَبَّلَهُ الْإِنْسَانُ فَلَا بَأْسَ لَأَنَّهُ يُرْوَى عَنْ عَكْرَمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ الصَّحَابِيِّ الْجَلِيلِ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ أَنَّهُ كَانَ يُقَبِّلُ الْمُصْحَفَ وَيَقُولُ: "هَذَا كَلَامُ رَبِّي"، وَبِكُلِّ حَالٍ التَّقْبِيلُ لَا حَرَجَ فِيهِ وَلَكِنْ لَيْسَ بِمَشْرُوعٍ وَلَيْسَ هُنَاكَ دَلِيلٌ عَلَى شَرْعِيَّتِهِ، وَلَكِنْ لَوْ قَبَلَهُ الْإِنْسَانُ تَعْظِيمًا وَاحْتِرَامًا عِنْدَ سُقُوطِهِ مِنْ يَدِهِ أَوْ مِنْ مَكَانٍ مُرْتَفِعٍ فَلَا حَرَجَ فِي ذَلِكَ وَلَا بَأْسَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ.

“Memang tidak ada dalil untuk mencium mushaf seperti itu. Akan tetapi jika seseorang menciumnya, tidaklah mengapa. Ada riwayat dari ‘Ikrimah bin Abi Jahl -seorang sahabat yang mulia- radhiyallahu Ta’ala ‘anhu bahwa beliau biasa mencium mushaf, lalu ia mengatakan, “Hadza kalamu robbiy (artinya: ini adalah kalam Rabbku).”

Intinya, mencium mushaf tidaklah masalah akan tetapi hal itu tidak disyariatkan dan tidak ada dalil yang mensyariatkannya. Akan tetapi jika ada yang mencium mushaf dalam rangka mengagungkan dan menghormati Al Quran ketika jatuh dari tangannya atau jatuh dari tempat yang tinggi, seperti itu tidaklah masalah insya Allah.

-------

FATWA DAR AL-IFTAA AL-MASHRIYAH [MESIR]:

إِنَّ الْعُلَمَاءَ أَجَازُوا تَقْبِيلَ الْمُصْحَفِ الشَّرِيفِ تَعْظِيمًا لِشَأْنِهِ، وَتَقْدِيرًا لِحُرْمَتِهِ، فَهُوَ كِتَابُ اللَّهِ - تَعَالَى -، وَالْمُعَجِّزَةُ الْكُبْرَى لِسَيِّدِنَا رَسُولِ اللَّهِ –صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ-، مُؤَكِّدَةً أَنَّ تَقْبِيلَ الْمُصْحَفِ جَائِزٌ وَلَا حَرَجَ فِيهِ.

Sesungguhnya para ulama membolehkan mencium (mengecup) al-Mushaf asy-Syariif sebegai bentuk pengagungan terhadap kedudukannya, penghormatan terhadap kemuliannya, karena ia adalah Kitab Allah Ta’aala, mukjizat yang agung bagi Sayyidinaa Rosulullah . Ini semua memperkokoh akan bolehnya mencium Mushaf, dan tidak ada yang menyulitkannya “.

 -------

FATWA DR. ALI JUM’AH, MUFTI JUMHURIYAH MESIR:

Pertanyaan: Apa hukum mencium al-Mushaf ?

JAWAB:

إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ مِنْ عَادَةِ النَّبِيِّ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ-، لِأَنَّ زَمَنَ النَّبِيِّ لَمْ يَكُنْ هُنَاكَ مُصْحَفٌ، وَمَفْهُومُ الْبِدْعَةِ هُنَا، خَطَأٌ، وَلَا نَلْتَفِتُ إِلَى ذَلِكَ.

وَأَنَّ تَقْبِيلَ الْمُصْحَفِ تَعْبِيرٌ عَنْ تَعْظِيمِهِ وَتَقْدِيسِهِ، كَمَا يُقَبِّلُ الْإِنْسَانُ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ تَعْظِيمًا لَهُ، وَلِذَا لَا بَأْسَ فِي أَنْ يَقْبِلَ الْمُسْلِمُ الْمُصْحَفَ الشَّرِيفَ.

إِنَّ الْجَمَاعَةَ النَّابِتَةَ حَرَّمُوا تَقْبِيلَ الْمُصْحَفِ وَدَلِيلُهُمْ فِي ذَلِكَ مَا قَالَهُ ابْنُ حَنْبَلٍ فِي كِتَابِهِ يُحَرِّمُ تَقْبِيلَ الْجُمَادَاتِ، لَافِتًا إِلَى أَنَّهُمْ لَمْ يَقْرَأُوا مَا قَالَهُ كَامِلًا، حَيْثُ قَالَ: "يُحَرِّمُ تَقْبِيلُ الْجُمَادَاتِ مَا لَمْ يَأْتِ بِهَا الشَّرْعُ"، وَهَذَا الْكَلَامُ قَالَهُ بِسَبَبِ تَقْبِيلِ الْحَجَرِ الْأَسْوَدِ.

وَأَنَّ سَيِّدُنَا "عُثْمَانَ وَعَلِيٌّ" قَبِلاَ الْمُصْحَفَ وَهَذَا شَرْعٌ يُمْكِنُ الْعَمَلُ بِهِ لِأَنَّهُ لَوْ كَانَ حَرَامًا مَا فَعَلاَهُ رِضْوَانُ اللَّهِ عَلَيْهِمَا.

Mencium Mushaf itu memang bukan kebiasaan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, karena pada zaman Nabi belum ada mushaf, namun penerapan konsep bid'ah di sini salah kaprah, dan kita tidak perlu menengok terhadap pembid'ahan hal yang seperti itu [Tidak usah menanggapi perkataan orang yang membid'ahkan-nya]. 

Lagi pula Mencium Mushaf adalah ekspresi penghormatan dan penyucian, seperti halnya seseorang mencium Hajar Aswad untuk menghormatinya, dan oleh karena itu tidak ada salahnya seorang Muslim mencium Al-Qur'an yang Mulia.

Sesungguhnya ada kelompok orang yang sedang tumbuh berkembang mengharamkan mencium Al-Qur'an, dan dalil mereka untuk itu adalah apa yang dikatakan Ibnu Hanbal dalam kitabnya:

يُحْرَمُ تَقْبِيلُ الْجُمَادَاتِ.

“ bahwa diharamkan mencium benda-benda mati”.

Sayangnya mereka ini tidak membaca apa yang dikatakannya secara lengkap, di mana lengkapnya dia berkata:

"يُحَرِّمُ تَقْبِيلُ الْجَمَادَاتِ مَا لَمْ يَأْتِ بِهَا الشَّرْعُ"

“Diharamkan mencium benda mati selama hukum syariat tidak membawakannya,”

Dan apa yang dia (Ibnu Hanbal) katakan ini disebabkan masalah hukum mencium Hajar Aswad.

Dan bahwa “Utsman dan Ali” mencium Al-Qur'an, dan ini adalah hukum yang dapat diamalkan karena jika itu diharamkan, maka mereka tidak akan melakukannya, semoga Allah meridhoi mereka. (Selesai Kutipan dari DR. Ali Jum’ah).

-------

FATWA MUFTI YORDANIA SYEIKH DR. NUH ALI SALMAN

Fatwa Nomor 264: Dar al-Ifta' Kerajaan Yordania

حُكْمُ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ

تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ هُوَ تَعْبِيرٌ عَنْ تَعْظِيمِهِ وَتَقْدِيسِهِ، كَمَا يُقَبِّلُ الْإِنْسَانُ الْحَجَرَ الْأَسْوَدَ تَعْظِيمًا لَهُ، وَلَذَا لَا بَأْسَ فِي أَنْ يُقَبِّلَ الْمُسْلِمُ الْمُصْحَفَ الشَّرِيفَ. وَلَا شَكَّ أَنَّهُ يُثَابُ عَلَى ذَلِكَ لِقَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى عَنْهُ: (ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ) الْحَجَّ/22، وَقَدْ رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُ: (أَنَّهُ كَانَ يُقَبِّلُ الْمُصْحَفَ وَيَقُولُ: عَهْدُ رَبِّي) يَعْنِي: مَا عَهِدَ إِلَيْنَا أَنْ نَعْمَلَ بِهِ، أَيْ: شَرِيعَتُهُ إِلَيْنَا، فَقَدْ كَانَ الْمُلُوكُ يُبْعِثُونَ إِلَى الرَّعِيَّةِ كِتَابًا يَتَضَمَّنُ تَعْلِيمَاتٍ وَيُسَمَّى الْعَهْدَ. وَرُوِيَ عَنْ عُثْمَانَ مِثْلَ ذَلِكَ، فَبَارَكَ اللَّهُ بِمَنْ رَقَّ طَبْعَهُ، وَسَمَّتْ رُوحَهُ، فَعَظَّمَ كِتَابَ رَبِّهِ وَفَهِمَ عَنْهُ عَزَّ وَجَلَّ، وَوَيْلٌ لِلْقَاسِيَةِ قُلُوبِهِمُ الْغَلِيظَةِ أَكْبَادِهِمْ.

Hukum Mencium Al-Qur'an

Mencium Al-Qur'an adalah ungkapan penghormatan dan pengagungan terhadapnya, sama seperti manusia mencium Hajar Aswad sebagai tanda penghormatan. Oleh karena itu, tidak ada masalah bagi seorang Muslim untuk mencium Al-Qur'an. Tentu saja, tindakan itu akan mendapat pahala sebagaimana yang disebutkan Allah Ta'ala tentangnya:

(ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ)

"(Yang demikian itu) dan barangsiapa mengagungkan syiar-syiar Allah, maka sesungguhnya (hal itu timbul) dari ketakwaan hati." (QS. Al-Hajj: 32).

Diriwayatkan bahwa Umar radhiyallahu 'anhu mencium Al-Qur'an dan mengatakan: "Ini adalah perjanjian Tuhanku," yang berarti: perintah-perintah-Nya kepada kami untuk diterapkan, yaitu: syariat-Nya kepada kami. Dahulu, para raja akan mengirim surat kepada rakyatnya yang berisi petunjuk-petunjuk, yang disebut perjanjian. Hal serupa juga diriwayatkan dari Utsman. Semoga Allah merahmati orang yang menghormati dan memahami Al-Qur'an-Nya, dan celaka bagi mereka yang memiliki hati yang keras dan ketakwaan yang rendah.

"Fatwa Syekh DR. Nuh Ali Salman" (Fatwa Tafsir Al-Qur'an/ Fatwa Nomor/8)

=====

PENDAPAT KE TIGA : TAWAQQUF [ Diam tidak menentukkan hukum tertentu].

Yakni pendapat ketiga ini tidak menentukkan pilihan hukum alias Tawaqquf . Ini adalah pendapat salah satu riwayat dari Imam Ahmad. Dan ini pula yang di pilih oleh Syeikh al-Utsaimin .

Manshur al-Bahuuty dalam kitab Kasyaaf al-Qinaa' 1/137 berkata:

(وَنَقَلَ جَمَاعَةٌ الْوَقْفَ) فِيهِ (وَفِي جَعْلِهِ عَلَى عَيْنَيْهِ) لِعَدَمِ التَّوْقِيفِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ رَفْعُهُ وَإِكْرَامُهُ؛ لِأَنَّ مَا طَرِيقُهُ التَّقَرُّبُ إذَا لَمْ يَكُنْ لِلْقِيَاسِ فِيهِ مَدْخَلٌ لَا يُسْتَحَبُّ فِعْلُهُ وَإِنْ كَانَ فِيهِ تَعْظِيمٌ إلَّا بِتَوْقِيفٍ،

(Dan ada sekelompok ulama yang mengutip pendapat: dihentikan / tidak boleh) di dalam mencium nya (dan juga meletakkannya di antara dua matanya) karena tidak ada tawqifnya (dalilnya), meskipun di dalamnya bertujuan mengangungkannya dan memuliakannya ; karena amalan apa saja yang bertujuan mendekat diri kepada Allah, jika tidak ada celah bagi dalil qiyas masuk di dalamnya, maka tidak dianjurkan (tidak mustahab) untuk mengamalkannya, meskipun bertujuan untuk mengangungkannya kecuali dengan tawqiif / dalil. (Selesai perkataan al-Bahuuty al-Hanbaly)

Imam Az-Zarkasyi berkata:

وَعَنْ أَحْمَدَ ثَلَاثَ رِوَايَاتٍ: الجَوَازِ، وَالِاِسْتِحَابِ، وَالتَّوَقُّفِ وَإِنْ كَانَ فِيهِ رَفْعَةٌ وَإِكْرَامٌ، لِأَنَّهُ لَا يَدْخُلُهُ قِيَاسٌ".

Dan dari pendapat Imam Ahmad, ada tiga riwayat: BOLEH, SUNNAH, dan TAWAQQUF (diam), meskipun ada tujuan pengagungan dan memuliakan di dalamnya, karena dalil qiyas tidak bisa masuk ke dalamnya (Yakni: Qiyas tdk bisa masuk dalam perkara Ibadah). (Selesai Kutipan dari az-Zarkasyi).

Syeikh Ibnu al-Utsaimin رحمه الله menyatakan:

"وَلَعَلَّ التَّوَقُّفَ عَنْ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ هُوَ الْأَصْوَبُ لِعَدَمِ وُرُودِ شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ، وَرُوِيَ ذَلِكَ عَنْ الْإِمَامِ أَحْمَدَ".

Barangkali tawaqquf  [berhenti] dari mengamalkannya adalah yang lebih tepat, karena tidak ada keterangan dalil tentang itu. Dan tawaqquf ini diriwayatkan pula dari Imam Ahmad. (Click: Islamweb. Fatwa No. 161517 (23/07/2011 M).

=====

PENDAPAT KEEMPAT : HUKUM NYA MAKRUH

Yakni : mencium mushaf al-Qur’an itu hukumnya Makruh. Ini adalah pendapat Mazhab Maliki dan Zainuddin al-Iraaqi dari madzhab Syafi’i .

Mereka mengatakan : bahwa qiyas [analogi] yang membolehkan cium mushaf dengan Hajar Aswad, itu tidak sah; karena itu merupakan analogi dalam masalah ibadah. Dan masalah ibadah tidak bisa dianalogikan, masalah ibadah hanya bisa diperkuat dengan dalil yang tegas.

Dan karena Umar - radhiyallahu ‘anhu - berkata di depan Hajar Aswad  ketika hendak menciumnya :

« أَمَ وَاللَّهِ لَقَدْ عَلِمْتُ أَنَّكَ حَجَرٌ – وفي رواية عبد الرزاق (9034)  : وأَنَّك لا تَضُرُّ وَلا تَنْفَع - وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يُقَبِّلُكَ مَا قَبَّلْتُكَ »

" Demi Allah , sungguh aku tahu bahwa kamu adalah batu , dan sesungguhnya kamu tidak bisa menghilangkan madlorot dan tidak bisa mendatangkan manfaat , kalau seandainya aku tidak melihat Rosulullah  menciummu maka akupun tidak sudi menciummu ". [HR. Muslim no. 1270]

Ini menunjukkan bahwa Umar menciumnya; karena Nabi  menciumnya, dan segala sesuatu yang tidak dinyatakan sebagai tindakan yang harus dilakukan, maka itu tidak dianggap sunnah.

Adapun apa yang terdapat dalam hadis dari Ikrimah: maka hadis tersebut lemah karena terputus rantai sanadnya; karena Ibnu Abi Mulaykah tidak pernah bertemu dengan Ikrimah; oleh karena itu tidak dapat dikatakan bahwa itu disunnahkan.

Namun anehnya ketika mereka berpendapat makruh itu melarang qiyas cium mushaf dengan cium hajr aswad , justru mereka sendiri yang memakruhkan berdalil dengan qiyas [analogi] dengan hukum makruh mencium ROTI.

Al-Khurosyi mengatakan dalam Syarah al-Khurosy 'Alaa al-Khalil  2/326 :

" وَيُكْرَهُ تَقْبِيلُ الْمُصْحَفِ وَكَذَا الْخُبْزُ. وَالْمُعْتَمَدُ أَنَّ امْتِهَانَهُ ـ أي الخبز ـ مَكْرُوهٌ ".

“ Makruh hukum nya mencium Al-Qur'an dan begitu juga mencium roti (Yakni Makruh). Dan yang mu’tamad adalah bahwa meremehkannya - yakni roti – itu makruh (seperti membuang sembarangan. Pen) “. (Lihat pula: “الفواكه الدواني” 1/356).

Berbeda dengan Madzhab Syafi’ii tentang mencium ROTI ini, dalam kitab al-Mawsuu’ah al-Fiqhiyyah  13/133-134 di sebutkan:

"صَرَّحَ الشَّافِعِيَّةُ بِجَوَازِ تَقْبِيلِ الْخُبْزِ، وَقَالُوا: إنَّهُ بِدْعَةٌ مُبَاحَةٌ أَوْ حَسَنَةٌ، لِأَنَّهُ لَا دَلِيلَ عَلَى التَّحْرِيمِ وَلَا الْكَرَاهَةِ، لِأَنَّ الْمَكْرُوهَ مَا وَرَدَ عَنْهُ نَهْيٌ، أَوْ كَانَ فِيهِ خِلَافٌ قَوِيٌّ، وَلَمْ يَرِدْ فِي ذَلِكَ نَهْيٌ، فَإِنَّ قَصْدَ بِذَلِكَ إِكْرَامَهُ لِأَجْلِ الْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي إِكْرَامِهِ فَحَسَنٌ، وَدَوْسُهُ مَكْرُوهٌ كَرَاهَةٌ شَدِيدَةٌ، بَلْ مُجَرَّدُ إِلْقَائِهِ فِي الْأَرْضِ مِنْ غَيْرِ دَوْسٍ مَكْرُوهٌ."

Madzhab Syafi'i menyatakan bahwa mencium roti itu diperbolehkan, dan mereka berkata:

Ini adalah bid'ah yang dibolehkan atau bid’ah hasanah, karena tidak ada dalil yang mengaharamkan dan juga yang memakruhkannya, karena hukum makruh itu harus ada dalil yang melarangnya.

Atau ada perbedaan pendapat yang kuat di dalamnya, dan tidak ada larangan dalam hal itu.

Maka jika dia bermaksud dengan menciumnya untuk memuliakannya karena adanya hadits-hadits yang menganjurkan untuk memuliakannya, maka itu adalah baik. Dan menginjak-injaknya itu sangat dimakruhkan, bahkan hanya dengan melemparkannya saja ke tanah tanpa menginjak-injak nya juga itu dimakruhkan “.

Adapun Madzhab Hanbali tentang ROTI, mereka mengatakan:

"لا يُشْرَعُ تَقْبِيلُ الْخُبْزِ وَلَا الْجُمَادَاتِ إِلَّا مَا اسْتَثْنَاهُ الشَّرْعُ" انتهى.

قَالَ ابْنُ مَفْلَحٍ: (وَهُوَ ظَاهِرُ كَلَامِ الشَّيْخِ تَقِيُّ الدِّينِ؛ فَإِنَّهُ ذَكَرَ أَنَّهُ لَا يُشْرَعُ تَقْبِيلُ الْجَمَادَاتِ، إِلَّا مَا اسْتَثْنَاهُ الشَّرْعُ).

Tidak disyariatkan untuk mencium dan mengecup roti atau benda-benda mati kecuali apa yang dikecualikan oleh syariat.

Ibnu Muflih berkata: (Ini adalah yang nampak dari perkataan Syekh Taqiyuddin, ketika dia menyebutkan bahwa mencium benda mati tidak disyariatkan, kecuali yang dikecualikan oleh Syariah). (Baca: “
الآداب الشرعية”).

Al-Hafidz Ibnu Hajar asy-Syaafi’ii dlm Fathul Baari  3/540 syarah hadits no. 1520 tentang mencium hajar Aswad:

قَالَ شَيْخُنَا [ يَعْنِي: الْعَرَاقِيُّ ] فِي " شَرْحِ التِّرْمِذِيِّ ": فِيهِ كَرَاهَةِ تَقْبِيلِ مَا لَمْ يَرِدِ الشَّرْعُ بِتَقْبِيلِهِ ، وَأَمَّا قَوْلُ الشَّافِعِيِّ: وَمَهْمَا قَبِلَ مِنَ الْبَيْتِ فَحَسَنٌ ، فَلَمْ يُرَدَّ بِهِ الِاسْتِحَبَابُ ، لِأَنَّ الْمُبَاحَ مِنْ جُمْلَةِ الْحَسَنِ عِنْدَ الْأُصُولِيِّينَ.

Syekh kami [Yakni: Zainuddin al-‘Iraaqy asy-Syaafi’ii ] berkata dalam “Sharah al-Tirmidzi”: Makruh hukumnya mencium apa saja yang tidak ada keterangan dari Syariah untuk menciumnya. Adapun perkataan Imam Al-Syafi'i: “ Apa saja yang dicium dari Baitullah itu adalah baik “, maka ini tidak ada dari beliau perkataan Mustahab, karena sesuatu yang mubah (dibolehkan) adalah bagian dari kalimat Hasan menurut para ulama ushul “.

=====

PENDAPAT KE LIMA : HARAM, SESAT DAN BID’AH

Yakni haram hukumnya mencium mushaf al-Qur’an. Dan itu merupakan bid’ah dan kesesatan .

Ini adalah pendapat Syeikh al-Albaani, Syeikh Abdul Karim Khudhair dan beberapa ulama kontemporer .

FATWA SYEIKH AL-ALBAANI رحمه الله

Syeikh Al-Albani - semoga Allah merahmatinya – beliau memastikan akan kebid’ahan nya dan keharamannya (Yakni: mencium Mushaf itu Bid’ah, SESAT dan HARAM ).

Sumber Fatwa Syeikh al-Albaani:

(القسم العام / الملتقى العلمي- للتفسير –وعلوم القرآن / 836 – حكم تقبيل المصحف ؟ للعلامة الألباني رحمه الله)

Dan dalam al-Mutafarriqoot lil Albaani no. 136, Syeikh al-Albaani berkata :

هَذِهِ مِمَّا يَدْخُلُ فِي اعْتِقَادِنَا فِي عُمُومِ الْأَحَادِيثِ السَّابِقَةِ التِّي مِنْهَا (وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الْأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ وَكُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ) وَفِي حَدِيثٍ آخَرَ: (كُلَّ ضَلَالَةٍ فِي النَّارِ)

Ini termasuk dalam aqidah dan keyakinan kita, berdasarkan makna umum hadis-hadis sebelumnya, di antaranya :

(Dan waspadalah kalian terhadap hal-hal yang baru, karena setiap yang baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah adalah kesesatan, dan setiap kesesatan akan masuk neraka).

Dalam hadits lain : “ Dan setiap yang sesat itu tempatnya di neraka”. [Lihat Pula : Aqwaal Lisy Syeikh al-Albaani 13 Agustus 2019].

FATWA SYEIKH ABDUL KARIIM AL-KHUDLOIR

Menurut Syeikh al-Khudhair , mencium mushaf adalah Bid'ah, Sesat dan Haram. Sama dengan pendapat Syeikh al-Albaani

PERTANYAAN:

Bolehkah ber-ta’abbud (mencari pahala) dengan mencium mushaf Al Qur’an sebagaimana kita ber-ta’abbud ketika mencium hajar aswad?

JAWABAN:

Mengenai mencium mushaf Al Qur’an, sama sekali tidak ada dalil yang marfu’ dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, juga dari para kibar sahabat Nabi. Berbeda dengan mencium hajar aswad, dalil-dalil tentangnya shahih.

Memang ada atsar dari Ikrimah bin Abi Jahal radhiallahu’anhu dalam Sunan Ad Darimi (3393) bahwa beliau meletakkan mushaf di wajahnya lalu mengucapkan:

كِتَابُ رَبِّي، كِتَابُ رَبِّي

“Kitab Rabb-ku, kitab Rabb-ku“.

Namun atsar ini terdapat inqitha’ (keterputusan sanad) antara Abdullah bin Ummu Mulaikah dengan Ikrimah bin Abi Jahal radhiallahu’anhu. Karena Abdullah bin Ummu Mulaikah tidak pernah bertemu dengannya, dan ia bukanlah orang yang diketahui meriwayatkan dari Ikrimah.

Oleh karena itu Al Hafidz Adz Dzahabi mengomentari atsar ini dengan berkata: “mursal“.

Andai kita kesampingkan dulu status sanadnya, atsar ini juga tidak menunjukkan bolehnya ta’abbud dengan mencium mushaf. Paling maksimal kita hanya bisa mengatakan bahwa Ikrimah meletakkan mushaf di wajahnya. Oleh karena itu Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu Fatawa mengatakan:

الْقِيَامُ لِلْمُصْحَفِ وَتَقْبِيلُهُ لَا نَعْلَمُ فِيهِ شَيْئًا مَأْثُورًا عَنِ السَّلَفِ، وَقَدْ سُئِلَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ عَنْ تَقْبِيلِ الْمُصْحَفِ فَقَالَ: مَا سَمِعْتُ فِيهِ شَيْئًا، وَلَكِنْ رُوِيَ عَنْ عَكْرَمَةَ بْنِ أَبِي جَهْلٍ

“Berdiri untuk menghormati mushaf atau mencium mushaf, tidak kami ketahui adanya riwayat shahih dari para salaf. Imam Ahmad pernah ditanya mengenai hal ini ia mengatakan: aku tidak pernah mendengar tentangnya sama sekali, namun diriwayatkan oleh Ikrimah bin Abi Jahal”.

Dan yang juga yang menjadi indikasi kuat lemahnya atsar ini adalah bahwa Ikrimah wafat pada masa khilafah Abu Bakar radhiallahu’anhu. Dan mushaf belum ada ketika itu, yang ada adalah lembaran-lembarang yang ada di tangan para sahabat radhiallahu’anhum. Dan berbeda antara lembaran-lembaran tersebut dengan mushaf, sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Baari.

Adapun mengqiyaskan mencium mushaf dengan mencium hajar aswad, memang tidak diragukan lagi bahwa mushaf adalah Kalamullah dan ia lebih agung dari hajar aswad.

Namun masalahnya ia adalah qiyas yang tidak shahih, karena tidak ada qiyas dalam ibadah.

Orang yang mencium hajar aswad mencari pahala dengan hal itu, demikian juga orang yang mencium mushaf. Padahal tidak ada qiyas dalam ibadah. Oleh karena itu ketika Umar mencium hajar aswad ia mengatakan:

إِنِّي أَعْلَمُ أَنَّكَ حَجَرٌ لَا تَضُرُّ وَلَا تَنْفَعُ وَلَوْلَا أَنِّي رَأَيْتُ النَّبِيَّ -صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- يُقَبِّلُكَ مَا قَبِلْتُكَ

“Sungguh saya tahu benar bahwa engkau hanyalah batu, tidak memberi manfaat. Andaikan saya tidak melihat Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam melakukannya, saya tidak akan menciummu” (HR. Bukhari 1597).

Dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan:

وَكُلُّ مَنْ أَلْحَقَ مَنْصُوصًا بِمَنْصُوصٍ يُخَالِفُ حُكْمَهُ فَقِيَاسُهُ فَاسِدٌ، وَكُلُّ مَنْ سَوَّى بَيْنَ شَيْئَيْنِ أَوْ فَرَّقَ بَيْنَ شَيْئَيْنِ بِغَيْرِ الْأَوْصَافِ الْمُعْتَبَرَةِ فِي حُكْمِ اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَقِيَاسُهُ فَاسِدٌ.

“Setiap meng-qiyaskan ibadah yang manshush dengan ibadah yang manshush, lalu menyelisihi hukumnya (yang ditunjukkan oleh nash), maka qiyasnya rusak. Dan siapa yang menyamakan dua hal atau membedakan dua hal padahal tidak ada sifat yang mu’tabar dalam hukum Allah dan Rasul-Nya, maka qiyas-nya rusak”.
***
Sumber: http://ar.islamway.net/fatwa/73066

******

TARJIIH :

Di sini penulis kutip pernyataan Syeikh Prof. DR. Abdul Malik bin Abdurrahman as-Sa’di, yang mana beliau berkata :

وَالَّذِي نُرْجِحُهُ هُوَ: الْجَوَازُ، لَا الْكَرَاهَةَ وَلَا الْاِسْتِحْبَابَ؛ لِأَنَّهُ مِنْ بَابِ الْاِحْتِرَامِ وَالتَّعْظِيمِ لَا مِنْ بَابِ الْعِبَادَةِ؛ لِأَنَّ اِحْتِرَامَ كَلَامِ اللَّهِ وَدَسْتُورِ الْأُمَّةِ وَمَحَبَّتَهُ مِنَ الْأُمُورِ الْمَطْلُوبَةِ مِنَ الْمُسْلِمِ، وَإِنْ كَانَ الْأَصْلُ فِي مَحَبَّتِهِ الْعَمَلَ بِهِ وَتَطْبِيقِ أَحْكَامِهِ لَا مُجَرَّدَ التَّقْبِيلِ أَوْ الْاِحْتِرَامِ الشَّكْلِيِّ وَالتَّقْلِيدِيِّ فَقَطْ.

أَمَّا مَا قِيلَ فِي حَدِيثِ عِكْرَمَةَ: فَإِنَّ انْقِطَاعَهُ لَا يُؤَدِّي إِلَى الْحُكْمِ بِالْكَرَاهَةِ؛ لِأَنَّ ضَعْفَهُ لَا يُعْتَبَرُ نَهْيًا، وَالْمَكْرُوهُ هُوَ مَا نَهَى عَنْهُ نَهْيًا غَيْرَ حَتْمِيٍّ.

وَمَعَ ذَلِكَ: فَلَهُ شَوَاهِدُ مِنْ فِعْلِ عُمَرَ وَعُثْمَانَ؛ وَلِأَنَّ النَّوَوِيَّ يَقُولُ عَنْهُ فِي التَّبْيَانِ: رَوَيْنَاهُ فِي مُسْنَدِ الدَّارِمِيِّ بِإِسْنَادٍ صَحِيحٍ.

أَمَّا الْقَوْلُ بِعَدَمِ الْجَوَازِ، أَوْ الْقَوْلُ بِأَنَّهُ بِدْعَةٌ: فَإِنَّهُ ضَعِيفٌ؛ لِأَنَّ مَا وَرَدَ بِهِ أَثَرٌ ضَعِيفٌ لَا يُوصَفُ بِالْبِدْعَةِ، وَلَكِنْ لَا يُحْكَمُ بِهِ بِوُجُوبٍ أَوْ نَدْبٍ أَوْ كَرَاهَةٍ.

وَالضَّعِيفُ إِذَا لَمْ يَكُنْ شَدِيدَ الضَّعْفِ يُعْمَلُ بِهِ فِي الْفَضَائِلِ، لَا بِتَغْيِيرِ الْأَحْكَامِ.

وَإِنْ قُلْنَا بِأَنَّهُ بِدْعَةٌ: فَالْمَرَادُ الْبِدْعَةُ اللُّغَوِيَّةُ، لَا الْبِدْعَةُ الشَّرْعِيَّةُ الَّتِي تُؤَدِّي إِلَى دُخُولِ الْفَاعِلِ النَّارَ؛ لِأَنَّ الْبِدْعَةَ الَّتِي نُهِيَ عَنْهَا مَا خَالَفَتْ النُّصُوصَ أَوْ لَمْ تَخْضَعْ لِقَاعِدَةٍ مِنْ قَوَاعِدِ الْإِسْلَامِ أَوْ مَبْدَأٍ مِنْ مَبَادِئِهِ، كَمَا أَطْلَقَ سَيِّدُنَا عُمَرَ عَلَى جَمَاعَةِ التَّرَاوِيحِ؛ لِأَنَّهَا بِدْعَةٌ "وَنِعْمَتُ الْبِدْعَةِ هِيَ" أَيْ فِي الْهَيْئَةِ لَا فِي أَصْلِ الْمَشْرُوعِيَّةِ.

لِأَنَّ الْبِدْعَةَ هِيَ {مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ}، وَالتَّعْظِيمُ لِلْمُصْحَفِ بِأَيِّ وَسِيلَةٍ كَانَتْ مِنَ الْإِسْلَامِ؛ لِذَا نَقُولُ بِالْإِبَاحَةِ وَلَيْسَ مِنْ بَابِ الْعِبَادَةِ الْمُسْتَحَبَّةِ، وَلَا نَقُولُ بِالْكَرَاهَةِ لِعَدَمِ النَّهْيِ.

وَمَعَ ذَلِكَ: فَأَرَى أَنَّ هَذِهِ مِنَ الْأُمُورِ الْفَرْعِيَّةِ لَا تَسْتَوْجِبُ النِّزَاعَ بَيْنَ الْأُمَّةِ وَتُسْتَغَلُّ مِنْ قِبَلِ أَعْدَاءِ الْإِسْلَامِ لِشَقِّ عُصَى الْمُسْلِمِينَ!

Yang kami tarjih [kami anggap lebih mendekati kebenaran] adalah: diperbolehkann, bukan makruh atau sunnah; karena itu merupakan bagian dari bentuk penghormatan dan pengagungan, bukan dari ibadah; karena menghormati firman Allah, konstitusi umat, dan mencintai-nya adalah hal yang dituntut dari seorang Muslim, meskipun prinsip dasarnya dalam mencintai-nya itu adalah dengan mengamalkan-nya dan menerapkan hukum-hukum-Nya, bukan sekadar mencium atau menghormati secara formal dan tradisi saja.

Adapun apa yang dikatakan dalam hadis tentang atsar Ikrimah: ketidak bersambungan sanadnya maka itu tidak menyebabkan hukum makruh; karena kedho’ifan sanadnya tidak dianggap sebagai larangan yang pasti. Dan makruh adalah larangan yang tidak tegas.

Meskipun demikian, riwayat ini memiliki penguat dari amalan Umar dan Utsman. Dan juga karena Imam Nawawi mengatakan tentangnya dalam at-Tibyan:

"Kami meriwayatkannya dalam Musnad Ad-Darimi dengan sanad yang sahih."

Adapun pendapat yang menyatakan bahwa mencium mushaf itu tidak boleh, atau menyatakan bahwa itu adalah bid'ah; maka itu adalah pendapat yang lemah; karena mengamalkan riwayat yang dho’if tidak dapat dikatakan bid'ah, namun tidak boleh digunakan untuk menentukkan hukum wajib, mustahab, atau makruh.

Dan riwayat dhoif, jika tidak terlalu dho’if, maka diperbolehkan untuk diamalkan dalam fadho’il a’mal [keutamaan], bukan untuk merubah-rubah hukum syar’i.

Jika kita mengatakan bahwa itu adalah bid'ah: maka yang dimaksud adalah bid'ah secara linguistik, bukan bid'ah syar'i yang dapat menyebabkan pelakunya masuk neraka; karena bid'ah yang dilarang adalah yang bertentangan dengan nash-nash syar’i atau tidak tunduk pada prinsip-prinsip dasar Islam atau salah satu prinsipnya, seperti yang dinyatakan oleh Umar tentang sholat tarawih berjemaah dalam satu imam ; karena itu adalah bid'ah "dan betapa baiknya bid'ah ini" yaitu dalam bentuknya, bukan dalam substansi pensyari’atannya.

Karena bid'ah adalah "siapa pun yang mengada-adakan sesuatu yang baru dalam perkara kami yang bukan bagian darinya, maka itu akan ditolak," dan penghormatan terhadap Al-Qur'an dengan cara apa pun adalah bagian dari perkara agama Islam; oleh karena itu, kita mengatakan bahwa itu diizinkan, bukan sebagai bagian dari ibadah yang disunnahkan, dan kita tidak boleh mengatakan bahwa itu makruh karena tidak ada larangan.

Meskipun demikian, saya melihat bahwa ini adalah masalah-masalah cabang agama [yang bersifat periferal] dan tidak perlu menyebabkan pertikaian dan permusuhan di antara umat dan dieksploitasi oleh musuh-musuh Islam untuk memecah belah umat Muslim!

[Baca : “Hukmu Taqbiil al-Mushaf” oleh Syeikh Prof. DR. Abdul Malik bin Abdurrahman as-Sa’di. Pertanyaan nomor 1549 - Dari Abdullah - Al-Anbar. Tanggal publikasi 9 Mei 2011].

AL-HAMDULILLAH

Semoga bermanfaat

 

 

 

 

Posting Komentar

0 Komentar